Rabu, 01 November 2017

Resensi Novel Love Sparks In Korea



RESENSI BUKU

Judul Buku : Love Sparks in Korea
Penulis       : Asma Nadia
Penerbit   : Asma Nadia Publishing House
Tahun Terbit : Cetakan 1, Oktober 2015
Tebal : viii + 380 hlm
ISBN : 978 – 602 – 9055 – 39 - 9
Peresensi : Ika Maisaroh


Keterbatasan Ekonomi Bukan Alasan Untuk Gagal Meraih Mimpi
Segala sesuatu akan lebih mudah jika diselesaikan dengan uang. Begitulah hampir kebanyakan orang mengiyakannya. Keterbatasan ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama seseorang gagal dalam meraih mimpinya. Mungkin itu juga yang dirasakan Rania kecil, ketika ia dan keluarganya harus hidup di perkampungan kumuh pinggir rel kereta api.Suara gemeletak gerigi roda – roda besi yang melintasi rel sudah sangat akrab ditelinga Rania dan kedua kakaknya. Tidak jarang gempa kecil – kecilan dirasakannya ketika kereta melintas, begitu juga dengan beberapa jemuran baju yang cepat kering dan kadang hilang diterpa hembusan angin.
Rania dan kedua kakaknya hidup dalam keluarga sederhana yang serba pas-pasan, bahkan untuk memikirkan hari esok menyantap makanan apa keluarganya pun kadang merasa bingung. Di tengah kondisi keluarganya yang serba kekurangan ia pun harus menerima kenyataan pahit ketika dokter memvonisnya menderita kondisi jantung dan paru – paru yang tidak sehat. Selama sepuluh tahun Rania harus berobat jalan di rumah sakit pemerintah. Meskipun hidup serba kekurangan namun beruntung kedua orangtuanya tak pernah sedikitpun mengeluh atau menunjukkan rasa kepanikan mencari nafkah. “ Sosok tegar Papa akan mencari cara agar ketiga anaknya bisa sekolah dan bungsunya dapat terus berobat. Lelaki berdarah Aceh itu tak merasa malu jika harus mengais iba dari keluarga besar yang hidup jauh lebih mapan untuk kebutuhan anak – anak.” ( hal 57).
Novel ini mengangkat kisah menarik tentang perjuangan meraih mimpi di tengah keterbatasan kondisi ekonomi. Membaca novel ini kita disadarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bisa diraih. “ Dunia ini semuanya kepunyaan Allah. Kita mungkin miskin tapi Allah Maha Kaya. Makhluknya tinggal berikhtiar dan meminta lewat doa – doa” ( hal 58).
 Selain itu novel ini juga mengajarkan betapa pentingnya peran orangtua dalam memotivasi anak – anaknya.” Orangtua susah tak berarti anak – anak harus menderita. Ketiga anaknya berhak mendapatkan atap yang lebih nyaman, suasana lapang untuk belajar, serta kesempatan mengejar impian. Kemiskinan tidak boleh menjadi alasan yang mengaburkan harapan” ( hal 60)
Dengan kondisi keluarga yang serba kekurangan Rania mungkin tidak pernah membayangkan jika ia kini bisa menjadi penulis yang dikenal banyak orang dengan novel – novelnya yang selalu menjadi best seller. Berkat kepiawaiannya menulis berbagai novel Rania pun kerap kali mendapat undangan untuk menjadi penulis tamu, seminar dan acara talkshow di berbagai negara. Dari sanalah ia mendapat julukan sebagai Jilbab Traveller. Ia menikmati hari – harinya sebagai penulis dan jilbab traveller, seorang penjelajah muslimah yang terbang ke berbagai negara untuk mentafakuri kebesaran Sang Pencipta. Setiap perjalanan yang dilakukannya semata – mata ia niatkan untuk menambah ketaqwaan dirinya terhadap Sang Pencipta, namun ternyata ia tidak hanya bisa melihat kebesaran Sang Pencipta melalui berbagai landmark yang ia kunjungi tetapi ia juga menemukan orang spesial yang berjanji menjadi pendamping setiap perjalanannya.
Dipaparkan dengan gaya bahasa yang memikat bernada santun, serta berbagai sentuhan islami membuat novel ini menarik untuk dibaca. Apalagi  tema yang diangkat dalam novel ini begitu dekat dengan realitas yang kita alami bahwa keterbatasan ekonomi keluarga seringkali dianggap sebagai penghambat terbesar dalam usaha meraih mimpi. Meski ada beberapa bagian cerita yang terasa lompat – lompat namun Asma Nadia mampu menyiasatinya dengan kalimat puitis yang indah untuk direnungi yang hampir tersebar di tiap sub bab.Selebihnya novel ini sangat menarik untuk dibaca karena di dalamnya menghadirkan berbagai pesan pembelajaran, terlebih untuk orang yang berjuang meraih mimpi agar tidak lekas putus asa.
“ Seperti Malahayati, laksamana perempuan pertama di dunia yang tidak mengenal sikap menyerah kalah, walau terluka dan berdarah” ( hal 125)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Fine Day

.........(akan sangat sedih untuk sekarang) Gadis itu masih sibuk menarikan jarinya di atas layar ponselnya. Hari menunjukkan pukul delapan...