Minggu, 01 Oktober 2017

Rasionalisasi Rasa Kemanusiaan

Rasionalisasi Rasa Kemanusiaan
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi saat ini seakan memaksa manusia untuk selalu berfikir dan bertindak rasional . Dimana tindakan rasional adalah segala tindakan yang bersumber pada logika rasional yang mempertimbangkan untung dan rugi. Dalam bertindak secara rasional seseorang sangat meminimalisasi adanya tindakan dan perasaan irasional.
Salah satu bentuk perasaan dan tindakan irasional adalah rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan seseorang memang tidak bisa diukur karena bersifat nonrasional dan karena itu adalah suatu emosi atau perasaan yang membedakan kita sebagai manusia dengan makhluk lainnya. Menurut Simmel , hal yang nonrasional adalah elemen “kehidupan” primer dan esensial, satu aspek integral kemanusiaan kita. Di era perkembangan zaman dan teknologi yang semakin pesat segala sesuatu yang bersifat nonrasional berusaha dirasionalkan oleh manusia. Satu contoh dari hal yang nonrasional adalah cinta (contoh lainnya adalah emosi dan iman) dan hal ini nonrasional karena diantaranya tidak praktis, berbeda dengan pengalaman intelektual, tidak memiliki nilai riil, impulsif, tidak ada satu pun aspek sosial atau kultural yang hadir di antara pecinta dengan yang dicinta dan hal ini tumbuh “ dari relung kehidupan yang sepenuhnya nonrasional” ( Simmel, dalam Arditi, 1996:96).
Dalam pengertian tertentu, rasionalisasi disini adalah bagaimana manusia menilai sesuatu hanya karena sebuah untung dan dan rugi yang bersifat materil, yang akhirnya melahirkan sejumlah efek negatif seperti sinisme dan sikap acuh. Tentu masih sangat lekat di ingatan kita peristiwa naas yang menimpa M. Azahra atau Joya, pria yang dihakimi massa dan dibakar hidup – hidup karena diduga mencuri amplifier mushola. Betapa rasa kemanusiaan kita hilang hanya karena menilai kebenaran berdasarkan sebuah benda yang harganya tidak lebih mahal dari sebuah nyawa. Miris dan ironis ketika seharusnya kesalahpahaman yang bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan tetapi harus berakhir dengan cara yang tidak manusiawi. Dan begitu ironis ketika peristiwa tersebut disaksikan oleh banyak orang tetapi tidak satu pun dari mereka yang mampu menghentikan peristiwa naas tersebut dan bahkan ada yang dengan asyik mengabadikan tragedi kemanusiaan tersebut. Dalam hal ini sinisme memainkan perannya, hingga tidak ada satu pun yang sadar akan keberadaan hukum.
          Hilangnya rasa kemanusiaan juga turut menghilangkan budaya malu yang ada di dalam sebuah masyarakat. Malu adalah salah satu bentuk emosi manusia. Malu memiliki arti yang beragam, yaitu sebuah emosi , pengertian, pernyataan atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukannya sebelumnya dan kemudian ingin ditutupinya ( Wikipedia Bahasa Indonesia ). Sebagai sebuah emosi dari manusia , rasa malu menjadi sebuah benteng yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap perilaku dan tindakan seseorang. Tindakan dan perilaku dari seorang individu dapat mendatangkan konsekuensi secara sosial atas tindakan dan perilaku individu. Konsekuensi tersebut bisa berupa pujian, kritik bahkan celaan. Namun seiring dengan perkembangan peradaban manusia, perlahan budaya malu itu mulai terkikis. Sanksi sosial tidak lagi mendatangkan rasa malu, begitu apatisnya manusia sekarang hingga menghilangkan rasa kemanusiaan kita demi sebuah gaya hidup mewah dan pengakuan sosial.
Masih menghiasi layar pemberitaan di tanah air kita adalah kasus penipuan dan penggelapan uang Biro Perjalanan Umroh Anugerah Karya Wisata atau First Travel yang dilakukan oleh pasangan suami istri Andhika Surachman dan Anisa Hasibuan yang telah memakan banyak korban penipuan dengan nominal uang yang tidak sedikit. Fakta – fakta mengenai gaya hidup keduanya juga menjadi  sorotan tersendiri. Perbuatan ini tentu saja dilakukan atas kesadaran mengingkari janji terhadap mereka yang berharap dapat menunaikan ibadah umroh dan kesadaran melanggar hukum. Dengan perkembangan dunia digital orang berlomba –lomba untuk membentuk citra dirinya yang akhirnya mengikis budaya malu tersebut. Dalam perspektif konsumsi budaya seseorang melakukan konsumsi budaya itu secara sadar sebagai penanda status sosialnya. Perkembangan teknologi digital telah membuat konsumsi budaya itu secara nyata dilakukan, terutama budaya massa.
Lagi – lagi saya harus menyerang kapitalisme, tidak bisa dipungkiri, dengan adanya media sosial orang banyak memperlihatkan citra dirinya. Citra sebagai orang dengan limpahan materi dan kehidupan yang serba glamor berusaha ditunjukkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Semua tindakan tersebut semata – mata dilakukan hanya untuk menunjukkan citra diri, selera atas produk budaya menjadi penanda status sosial seorang individu.
          Rasionalisasi telah membawa manusia terasing dari sesamanya, sikap sinisme dan acuh telah menjadi konsekuensi bagi manusia modern saat ini. Hal ini juga didukung oleh perkembangan dunia digital dimana  banyak orang berlomba – lomba menunjukkan citra dirinya melalui media sosial ,  mengabaikan sanksi sosial  dan kesadaran melanggar hukum sebagai sesuatu yang lumrah untuk dilakukan. Sudah seharusnya dan saatnya kita menjunjung tinggi hukum itu sendiri dengan mentaatinya berdasarkan kesadaran kita sebagai manusia, kesadaran melanggar hukum sejatinya menunjukkan sifat kemanusiaan kita terhadap sesama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Fine Day

.........(akan sangat sedih untuk sekarang) Gadis itu masih sibuk menarikan jarinya di atas layar ponselnya. Hari menunjukkan pukul delapan...