Rasionalisasi Rasa Kemanusiaan
Seiring dengan perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi saat ini seakan memaksa manusia untuk selalu berfikir dan
bertindak rasional . Dimana tindakan rasional adalah segala tindakan yang
bersumber pada logika rasional yang mempertimbangkan untung dan rugi. Dalam
bertindak secara rasional seseorang sangat meminimalisasi adanya tindakan dan
perasaan irasional.
Salah satu bentuk perasaan dan tindakan
irasional adalah rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan seseorang memang tidak bisa
diukur karena bersifat nonrasional dan karena itu adalah suatu emosi atau
perasaan yang membedakan kita sebagai manusia dengan makhluk lainnya. Menurut
Simmel , hal yang nonrasional adalah elemen “kehidupan” primer dan esensial,
satu aspek integral kemanusiaan kita. Di era perkembangan zaman dan teknologi
yang semakin pesat segala sesuatu yang bersifat nonrasional berusaha
dirasionalkan oleh manusia. Satu contoh dari hal yang nonrasional adalah cinta
(contoh lainnya adalah emosi dan iman) dan hal ini nonrasional karena
diantaranya tidak praktis, berbeda dengan pengalaman intelektual, tidak
memiliki nilai riil, impulsif, tidak ada satu pun aspek sosial atau kultural
yang hadir di antara pecinta dengan yang dicinta dan hal ini tumbuh “ dari
relung kehidupan yang sepenuhnya nonrasional” ( Simmel, dalam Arditi, 1996:96).
Dalam pengertian tertentu, rasionalisasi
disini adalah bagaimana manusia menilai sesuatu hanya karena sebuah untung dan
dan rugi yang bersifat materil, yang akhirnya melahirkan sejumlah efek negatif
seperti sinisme dan sikap acuh. Tentu masih sangat lekat di ingatan kita
peristiwa naas yang menimpa M. Azahra atau Joya, pria yang dihakimi massa dan
dibakar hidup – hidup karena diduga mencuri amplifier mushola. Betapa rasa
kemanusiaan kita hilang hanya karena menilai kebenaran berdasarkan sebuah benda
yang harganya tidak lebih mahal dari sebuah nyawa. Miris dan ironis ketika
seharusnya kesalahpahaman yang bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan
tetapi harus berakhir dengan cara yang tidak manusiawi. Dan begitu ironis
ketika peristiwa tersebut disaksikan oleh banyak orang tetapi tidak satu pun
dari mereka yang mampu menghentikan peristiwa naas tersebut dan bahkan ada yang
dengan asyik mengabadikan tragedi kemanusiaan tersebut. Dalam hal ini sinisme
memainkan perannya, hingga tidak ada satu pun yang sadar akan keberadaan hukum.
Hilangnya
rasa kemanusiaan juga turut menghilangkan budaya malu yang ada di dalam sebuah
masyarakat. Malu adalah salah satu bentuk emosi manusia. Malu memiliki arti
yang beragam, yaitu sebuah emosi , pengertian, pernyataan atau kondisi yang
dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukannya sebelumnya dan
kemudian ingin ditutupinya ( Wikipedia
Bahasa Indonesia ). Sebagai sebuah emosi dari manusia , rasa malu menjadi
sebuah benteng yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap perilaku dan
tindakan seseorang. Tindakan dan perilaku dari seorang individu dapat
mendatangkan konsekuensi secara sosial atas tindakan dan perilaku individu.
Konsekuensi tersebut bisa berupa pujian, kritik bahkan celaan. Namun seiring
dengan perkembangan peradaban manusia, perlahan budaya malu itu mulai terkikis.
Sanksi sosial tidak lagi mendatangkan rasa malu, begitu apatisnya manusia
sekarang hingga menghilangkan rasa kemanusiaan kita demi sebuah gaya hidup
mewah dan pengakuan sosial.
Masih menghiasi layar pemberitaan di
tanah air kita adalah kasus penipuan dan penggelapan uang Biro Perjalanan Umroh
Anugerah Karya Wisata atau First Travel yang dilakukan oleh pasangan suami
istri Andhika Surachman dan Anisa Hasibuan yang telah memakan banyak korban
penipuan dengan nominal uang yang tidak sedikit. Fakta – fakta mengenai gaya
hidup keduanya juga menjadi sorotan
tersendiri. Perbuatan ini tentu saja dilakukan atas kesadaran mengingkari janji
terhadap mereka yang berharap dapat menunaikan ibadah umroh dan kesadaran
melanggar hukum. Dengan perkembangan dunia digital orang berlomba –lomba untuk
membentuk citra dirinya yang akhirnya mengikis budaya malu tersebut. Dalam
perspektif konsumsi budaya seseorang melakukan konsumsi budaya itu secara sadar
sebagai penanda status sosialnya. Perkembangan teknologi digital telah membuat
konsumsi budaya itu secara nyata dilakukan, terutama budaya massa.
Lagi – lagi saya harus menyerang kapitalisme,
tidak bisa dipungkiri, dengan adanya media sosial orang banyak memperlihatkan
citra dirinya. Citra sebagai orang dengan limpahan materi dan kehidupan yang
serba glamor berusaha ditunjukkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Semua
tindakan tersebut semata – mata dilakukan hanya untuk menunjukkan citra diri,
selera atas produk budaya menjadi penanda status sosial seorang individu.
Rasionalisasi
telah membawa manusia terasing dari sesamanya, sikap sinisme dan acuh telah
menjadi konsekuensi bagi manusia modern saat ini. Hal ini juga didukung oleh
perkembangan dunia digital dimana banyak
orang berlomba – lomba menunjukkan citra dirinya melalui media sosial , mengabaikan sanksi sosial dan kesadaran melanggar hukum sebagai sesuatu
yang lumrah untuk dilakukan. Sudah seharusnya dan saatnya kita menjunjung
tinggi hukum itu sendiri dengan mentaatinya berdasarkan kesadaran kita sebagai
manusia, kesadaran melanggar hukum sejatinya menunjukkan sifat kemanusiaan kita
terhadap sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar